Dunia kerja telah banyak berubah, dan kita kadang terhenyak dibuatnya, lantaran tidak menduga sebelumnya. Dulu, stereotipe di benak, definisi bekerja mapan adalah orang bekerja di kantor, berangkat pagi pulang sore, berpakaian rapi, dan mendapat gaji tetap bulanan.
Kini, di era 4.0, tengah terjadi bergeseran, bahkan pembalikan tentang makna bekerja. Anak zaman now ditengarai semakin tidak tertarik dengan pekerjaan tetap. Majalah Forbes melansir bahwa pada 2030 nanti, generasi milenial tidak akan betah bekerja dengan model kerja 9 to 5 (masuk pukul 9 pulang pukul 5), seperti yang tengah kita nikmati saat ini. Intuit, sebuah perusahaan Amerika, juga memprediksi dunia tenaga kerja Amerika pada 2020 akan didominasi dengan independent workers, sebanyak 43%.
Lalu berkembanglah apa yang kemudian lazim disebut dengan ekonomi gig (gig economy), atau beberapa pihak menyebutnya sebagai sharing economy.
Ekonomi gig adalah suatu kondisi perekonomian di mana terjadi pergeseran status para pekerja perusahaan, dari yang pada umumnya merupakan tenaga kerja permanen ke kontrak sementara (short-term contract), independent workers, maupun karyawan tidak tetap (temporary workers). Maraknya pekerja freelance dan bermunculan platform mobile yang menawarkan jasa on-demand workers juga merupakan wujud penerapan ekonomi gig.
Mungkin banyak yang belum familiar dengan istilah ekonomi gig. Padahal istilah ini sudah cukup lama berkembang di negara-negara maju. Tren ekonomi gig terjadi akibat maraknya on-demand worker alias “buruh” siap kerja yang dapat dipesan secara online. Di Indonesia ekonomi gig menampakkan geliatnya dalam industri transportasi berbasis online seperti Gojek dan Grab, serta sejumlah bisnis jual beli lewat daring (dalam jejaring) seperti Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya.
Ekonomi gig cepat disukai karena menawarkan fleksibilitas yang tinggi. Kehadirannya seiring dengan revolusi industri 4.0 yang menekankan efisiensi dan efektivitas berbasis teknologi. Keuntungan menggunakan on-demand workers bagi perusahaan maupun pekerja adalah kemampuan mengontrol waktu dan tempat kerja.
Pekerja dapat login ke aplikasi daring kapan saja tanpa jam kerja yang mengikat. Bagi konsumen/pengguna jasa, ekonomi gig menawarkan layanan yang cepat dan murah. Tinggal klik langsung dapat.
Sedang keuntungan bagi perusahaan, mereka bebas menunjuk staf yang direkrut untuk menangani proyek atau pekerjaan tertentu, dan pada saat tertentu. Mereka juga dapat menghemat pengeluaran karena tidak perlu lagi mengalokasikan biaya berbagai kompensasi kepada tenaga kerjanya seperti asuransi kesehatan dan jaminan hari tua.
Di Indonesia, ekonomi gig mengalami pertumbuhan yang signifikan sehingga perusahaan besar mulai melihat sisi lain dari para gig workers. Mengacu pada data Bloomberg, dari 127 juta masyarakat Indonesia yang bekerja, sepertiga dari mereka masuk pada kategori pekerja lepas yang bekerja kurang dari 35 jam per minggunya. Dari sepertiga angka tersebut, lebih dari 30 juta masyarakat Indonesia bekerja paruh waktu.
Melihat perkembangan ini, banyak platform mobile di Indonesia yang bergerak dalam bisnis penyedia jasa on-demand workers bagi perusahaan yang membutuhkan. Dalam setahun terakhir saja, jasa platform mobile ini menunjukkan peningkatan sebesar 26 persen dalam hal permintaan jasa on-demand worker.
Menurut Managing Director Amar Bank dan perusahaan fintech Tunaiku, Vishal Tulsian, peningkatan ini terjadi disebabkan oleh faktor efisiensi biaya rekrutmen serta ide-ide baru yang lebih segar yang dihadirkan oleh para gig workers.
“Beberapa perusahaan yang bergerak di industri kreatif memang akan lebih efisien dan efektif jika menggunakan pekerja lepas, selain karena kontrak yang tidak terikat, perusahaan juga bisa mendapatkan pekerja profesional yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan perusahaan saat itu,” jelas Vishal, sebagaimana dikutip republika.co.id.
Kritik terhadap Gig
Tetapi toh ekonomi gig tidak luput dari sejumlah kritik. Rizal, K. dalam blog rumahpangripta.org, mencatat, setidaknya ada tiga isu kritik mendasar.
Pertama, ekonomi gig menjadi ancaman serius bagi kelangsungan bisnis petahana. Kasus perseteruan antara taksi daring dan taksi konvensional adalah contohnya. Menariknya, friksi ini hanya terjadi di sektor transportasi. Sementara di sektor lainnya, seperti properti dan retail, tidak menunjukkan gejolak sosial yang berarti.
Kedua, ekonomi gig menyebabkan hilangnya potensi pajak. Regulasi perpajakan belum sepenuhnya kompatibel dengan jenis ekonomi baru ini. Status bekerja mandiri (self-employment) menyebabkan pelaku ekonomi gig berpotensi luput dari kewajiban pajak.
Di United Kingdom, sebagaimana dilaporkan oleh BBC-UK, dengan estimasi lima juta pelaku ekonomi gig di tahun 2020, penghasilan pajak yang hilang diperkirakan mencapai 3,5 milyar poundsterling. Jumlah yang cukup fantastis. Berbeda dengan isu persaingan usaha, isu perpajakan ini kurang mendapat perhatian di publik Indonesia. Sepertinya dikarenakan pemerintah masih bekutat pada penyelesaian konflik horizontal di isu pertama.
Ketiga, ekonomi gig dituduh mengabaikan hak-hak pekerja, seperti keselamatan kerja dan asuransi sosial. Hal ini karena pelaku ekonomi gig dipandang sebagai kontraktor-individu lepas yang memperkerjakan diri sendiri, bukan sebagai karyawan yang haknya wajib dipenuhi oleh perusahaan sesuai dengan regulasi ketenagakerjaan yang berlaku.
Kebanjiran suplai pelaku ekonomi menyebabkan tingkat pendapatan mereka bakal berkurang drastis. Singkatnya, tidak tersedia cukup pekerjaan untuk semua pelaku ekonomi gig. Akibatnya, pelaku ekonomi gig sangat riskan terhadap goncangan ekonomi. Bukannya menjadi penyumbang pajak, mereka justru berpotensi menjadi beban tambahan bagi dana publik.
Dari sisi penyedia platform daring, persaingan memaksa mereka untuk lebih efisien dengan cara memotong tarif dan memperbesar komisi. Akibatnya, pendapatan pelaku ekonomi gig semakin tertekan lebih dalam lagi.
“Kisah pilu yang sama pun berulang. Bedanya, kali ini dibungkus dalam narasi ekonomi gig yang berbasis TI. Karakter eksploitatif yang ganas dari ekonomi gig ini sedang panas-panasnya dibahas di publik UK (United Kingdom),” tulis Rizal K, yang merupakan pemerhati perencanaan dan pembangunan dan mahasiswa doktoral di University College London, Inggris, itu.
Oleh karenanya, Pemerintah harus menyiapkan langkah antisipatif menyangkut aspek perlindungan ketenagakerjaan, persaingan usaha dan perpajakan. Jangan sampai prediksi muram ekonom Will Hutton menjadi kenyataan: “bahwa masyarakat terdiri atas 30% orang dirugikan dan terpinggirkan, 30% menjalani kehidupan yang tidak pasti, dan 40% orang mendapat hak istimewa.” (*)