Pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) untuk periode berikutnya kembali menjadi sorotan dunia. Kebijakan “America First”, yang menekankan proteksionisme ekonomi dan kepentingan nasional AS, berpotensi memberikan dampak besar bagi negara-negara berkembang, termasuk anggota BRICS seperti Indonesia.

Proteksionisme ini meliputi kebijakan seperti kenaikan tarif impor, pembatasan kuota perdagangan, serta regulasi ketat terhadap produk asing. Tujuannya adalah melindungi industri dalam negeri AS dari persaingan global dan memperkuat ekonomi domestik. Namun, langkah ini dapat membatasi akses negara-negara berkembang ke pasar AS, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan industri mereka dan menghambat upaya pengentasan kemiskinan.
Ancaman Trump terhadap BRICS dan Perubahan Geopolitik
Salah satu kebijakan kontroversial yang diusulkan Trump adalah rencana menaikkan tarif impor hingga 100% bagi negara-negara anggota BRICS. Langkah ini menjadi respons terhadap upaya BRICS untuk menciptakan mata uang alternatif guna mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan internasional.
Blok ekonomi BRICS, yang kini memiliki 11 anggota, termasuk Indonesia, sedang mempertimbangkan strategi untuk memperkuat kerja sama ekonomi di luar pengaruh AS. Jika mata uang baru BRICS berhasil diwujudkan, dominasi ekonomi AS dapat terguncang, yang berpotensi mengurangi pengaruh politiknya dalam hubungan internasional.
Meski demikian, tantangan internal tetap ada dalam BRICS. Perbedaan kepentingan ekonomi antarnegara anggota dapat menghambat implementasi mata uang bersama. Misalnya, Brasil sangat bergantung pada ekspor berbasis dolar, sementara China memiliki surplus perdagangan besar dengan anggota BRICS lainnya. Ketimpangan ini membuat koordinasi menjadi lebih kompleks.
Indonesia Berada dalam Posisi Rentan
Sebagai anggota baru BRICS, Indonesia menghadapi risiko besar jika AS benar-benar menerapkan tarif tinggi. Saat ini, ekspor Indonesia ke AS masih signifikan, dengan nilai Rp29,55 triliun dalam periode Januari-September 2024. Jika bea masuk meningkat, produk-produk unggulan Indonesia seperti tekstil, karet, dan agrikultur bisa kalah bersaing di pasar AS dibandingkan dengan negara seperti Vietnam dan Thailand.
Lebih jauh, dampak proteksionisme ini tidak hanya mempengaruhi sektor ekspor, tetapi juga industri dalam negeri yang selama ini bergantung pada perdagangan dengan AS. Oleh karena itu, Indonesia perlu menyusun strategi untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan memperkuat pasar alternatif.
Strategi Indonesia Menghadapi Tantangan Proteksionisme AS
Untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan AS, beberapa langkah strategis perlu dilakukan, antara lain:
- Diversifikasi Pasar Ekspor
- Memperluas pasar di Asia, Afrika, dan Eropa untuk mengurangi ketergantungan pada AS.
- Memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara lain guna memperkuat daya saing produk Indonesia.
- Mengoptimalkan Peran di BRICS
- Mendorong inisiatif mata uang bersama agar dapat mengurangi penggunaan dolar AS dalam transaksi global.
- Memanfaatkan Bank Pembangunan BRICS sebagai sumber pendanaan proyek infrastruktur Indonesia, menggantikan ketergantungan pada lembaga seperti IMF atau Bank Dunia.
- Peningkatan Daya Saing Industri
- Mengembangkan sektor manufaktur dan hilirisasi sumber daya alam, agar ekspor Indonesia tidak hanya bergantung pada bahan mentah.
- Berinvestasi dalam teknologi dan inovasi untuk meningkatkan kualitas produk ekspor dan meningkatkan daya saing global.
- Peningkatan Infrastruktur & Logistik
- Mengoptimalkan sistem transportasi dan distribusi untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi ekspor.
- Berkolaborasi dengan sektor swasta guna memperkuat rantai pasok nasional.
- Pendekatan Diplomasi yang Seimbang
- Menjaga hubungan baik dengan AS untuk memastikan arus investasi dan transfer teknologi tetap terjalin.
- Memperkuat kerja sama dengan BRICS untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka panjang, namun tetap berhati-hati agar tidak memicu sanksi dari AS.
Kesimpulan
Kebijakan proteksionisme AS di bawah kepemimpinan Trump membawa tantangan besar bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Di satu sisi, Indonesia dapat memanfaatkan BRICS sebagai peluang baru, tetapi di sisi lain, perlu menjaga keseimbangan diplomatik dengan AS untuk menghindari dampak negatif terhadap perekonomian domestik. Dengan strategi yang tepat, termasuk diversifikasi pasar, penguatan industri, dan diplomasi yang cermat, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada AS dan tetap kompetitif dalam perekonomian global.