Kabar kurang baik datang dari Amerika Serikat. Inflasi yang diukur dengan Personal Consumption Expenditure (PCE) inti melambat. PCE inti adalah inflasi yang menjadi referensi bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed.
Pada April, laju PCE inti dilaporkan sebesar 4,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Melambat dibandingkan Maret yang sebesar 5,2%.
Inflasi inti mengeluarkan komponen barang dan jasa yang harganya bergejolak. Dalam kasus AS, mengecualikan pangan dan energi.
Oleh karena itu, inflasi inti dipandang sebagai indikator kekuatan daya beli. Saat inflasi inti tinggi, artinya daya beli sedang kuat karena bisa sampai ‘menggoyang’ harga barang dan jasa yang sifatnya persisten.
Kemudian, bagaimana dampaknya terhadap indonesia?
Indonesia tidak akan imun terhadap dampak resesi ekonomi di AS. Belajar dari pengalaman Krisis Keuangan Global maupun krisis akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), ekonomi Indonesia bakal melambat saat AS terserang resesi.
Akan tetapi, pelaku pasar memperkirakan risiko resesi di Indonesia masih minim. Setidaknya dalam waktu dekat.
“Dengan aktivitas warga yang semakin normal, sektor jasa dan pariwisata akan pulih. Investasi juga akan tumbuh lebih tinggi pada semester II seiring peningkatan utilisasi produksi.
“Untuk keseluruhan 2022, kami memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5%. Sedikit lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yaitu 4,8%,” papar Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.
Radhika Rao, Ekonom DBS, juga mengungkapkan rasa optimisme. Menurutnya, ekonomi Ibu Pertiwi bisa tumbuh setidaknya 4,8% tahun ini.
“Permintaan akan tetap kuat seiring pembukaan aktivitas ekonomi, cakupan vaksinasi, dan kinerja perdagangan internasional akan menjadi pilar pendukung. Kami tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 4,8%,” sebut Rao.