Prospek ekspor batu bara Indonesia menghadapi ancaman penurunan dalam jangka panjang sebagai dampak dari komitmen Presiden China Xi Jinping terhadap transisi energi bersih. Dalam laporan terbaru berjudul “Coal in Indonesia: Paradox of Strength and Uncertainty” yang dirilis oleh Energy Shift Institute (ESI), disebutkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap pasar ekspor batu bara di China dan India sangat tinggi—mencapai 63 persen dari total ekspor pada tahun 2023. Hal ini menempatkan Indonesia dalam posisi rentan terhadap perubahan arah kebijakan energi kedua negara tersebut. Peneliti ESI, Hazel Ilango, menjelaskan bahwa pernyataan terbaru Xi Jinping mengenai target iklim tahun 2035 mempertegas komitmen politik China terhadap agenda pengurangan emisi karbon. Menurut Hazel, sinyal ini bukan hanya bersifat simbolik, melainkan juga menunjukkan perubahan serius yang perlu segera ditanggapi oleh Indonesia.

https://images.bisnis.com
Hazel menambahkan bahwa pertumbuhan permintaan listrik baru di China kini sebagian besar dipenuhi oleh sumber energi bersih, menggantikan dominasi pembangkit berbahan bakar fosil seperti batu bara. Tren serupa juga mulai terlihat di India, yang memperkuat indikasi bahwa kedua negara ini mulai serius dalam mengadopsi energi terbarukan. Jika arah transisi energi ini terus berlanjut, maka tidak hanya pertumbuhan ekspor batu bara Indonesia yang akan stagnan, tetapi juga berpotensi mengalami penurunan secara bertahap dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan mengandalkan ekspor ke dua negara yang sedang bergerak menjauh dari bahan bakar fosil, Indonesia berisiko menghadapi dampak negatif terhadap sektor batubaranya jika tidak segera melakukan diversifikasi strategi energi dan ekspor.
Meskipun sektor batu bara Indonesia mencatat keuntungan besar dalam beberapa tahun terakhir—dengan laba bersih mencapai US$31,4 miliar pada periode 2019 hingga 2023 dan produksi mencapai rekor 836 juta ton pada tahun 2024—ESI menilai kondisi tersebut tidak akan bertahan lama. Kinerja positif industri ini dianggap sebagai hasil dari lonjakan sementara yang bersifat siklikal, bukan keunggulan struktural jangka panjang. Harga batu bara yang sempat tinggi setelah pandemi kini mulai menurun lebih dari setengah sejak 2022, meskipun masih berada di atas level sebelum pandemi. Dengan dinamika pasar global yang semakin tidak berpihak pada bahan bakar fosil, ESI memperingatkan bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi realitas baru dengan mulai mengalihkan fokus ke sektor energi yang lebih berkelanjutan dan kurang bergantung pada pasar ekspor batu bara. -admin