Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Namun, 1 Mei bukan sekadar tanggal merah di kalender. Ia adalah simbol perjuangan panjang kaum buruh, semangat solidaritas kelas pekerja, dan pengingat akan pentingnya keadilan sosial dalam struktur ekonomi kita. Di balik sorak perayaan dan spanduk tuntutan, tersimpan narasi besar tentang peran vital buruh dalam roda ekonomi.



Ekonomi modern tidak akan bergerak tanpa tenaga kerja. Dari petani, buruh pabrik, hingga pekerja digital, semua berkontribusi dalam menciptakan nilai tambah. Dalam teori ekonomi klasik, buruh adalah salah satu dari tiga faktor produksi utama, bersama dengan modal dan tanah. Namun sayangnya, dalam praktiknya, tenaga kerja kerap kali menjadi pihak yang paling rentan dalam sistem ekonomi. Ketimpangan pendapatan, kerja kontrak yang tak pasti, hingga kondisi kerja yang buruk masih menjadi tantangan nyata.
Hari Buruh adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan bagaimana kebijakan ekonomi dapat (atau gagal) menciptakan kesejahteraan yang inklusif. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tak berarti apa-apa jika tidak diikuti dengan distribusi yang adil. Produktivitas buruh yang meningkat seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan upah riil dan perlindungan kerja yang lebih baik. Namun, globalisasi dan tekanan efisiensi seringkali menekan hak-hak dasar pekerja.
Lebih dari itu, Hari Buruh mengingatkan kita bahwa pembangunan ekonomi bukan hanya soal angka PDB, tetapi juga tentang martabat manusia. Pekerja bukanlah sekadar “biaya” yang harus ditekan, melainkan mitra yang harus dihargai. Maka, selamat Hari Buruh Internasional. Semoga semangat perjuangan ini terus mendorong terciptanya sistem ekonomi yang adil, inklusif, dan manusiawi bagi semua.