Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar upacara tahunan. Ini adalah pengingat bahwa bangsa Indonesia pernah bangkit dari ketertindasan dengan kekuatan persatuan dan kesadaran kolektif. Hari ini, kita menghadapi tantangan yang berbeda—bukan kolonialisme, tetapi tekanan ekonomi global, ketimpangan, dan ketidakpastian masa depan.



Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertahan di atas 5%, realitas di lapangan menunjukkan hal lain. Harga-harga naik, daya beli masyarakat menurun, lapangan kerja semakin sempit, dan generasi muda harus bersaing dalam ekosistem digital yang belum merata. Ketimpangan antara kota dan desa, pusat dan daerah, masih menjadi luka lama yang belum sembuh.
Di sinilah makna kebangkitan diuji. Kita tak bisa hanya mengandalkan angka pertumbuhan. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berubah: dari budaya konsumtif ke produktif, dari eksploitasi ke inovasi, dari ketergantungan ke kemandirian. Bonus demografi akan jadi beban jika tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang berkualitas dan pendidikan yang relevan dengan zaman.
Kebangkitan hari ini bukan lagi soal mengusir penjajah, tapi soal membebaskan diri dari kemalasan berpikir, ketergantungan ekonomi, dan kepasrahan sosial. Kita punya potensi besar—dari UMKM, ekonomi digital, hingga sektor pertanian dan energi terbarukan. Tapi potensi tidak berarti apa-apa jika tidak dibangkitkan.
Bangkit atau tertinggal—itulah pilihan kita hari ini.